Letakkan Loyalitas di Tempat yang Benar

Glend Maatita
3 min readFeb 6, 2023

--

Photo by Sangga Rima Roman Selia on Unsplash

Saat tulisan ini dibuat, musim dingin sedang melanda Tech Companies. Layoff terjadi di berbagai perusahaan teknologi, tak peduli ukuran perusahaan tersebut. Mulai dari skala UMKM hingga perusahaan-perusahaan Tech terbesar di dunia, semua punya simtom yang sama: melakukan layoff karena salah mengambil keputusan di masa pandemi. Mereka salah memprediksi behaviour netizen di masa depan. New Normal sudah tidak berlaku lagi. Orang-orang tidak suka untuk terus berada di rumah. Tingkah laku mereka balik seperti sebelum pandemi.

Hal ini tentu mengagetkan perusahaan Tech yang sudah berinvestasi besar-besaran saat melihat bagaimana perusahaan mereka bertumbuh di masa pandemi. Mereka melakukan hiring secara besar-besaran dengan harapan bisa memanfaatkan momen pandemi sebaik mungkin. Akibatnya? Karyawan sekali lagi menjadi korban atas keputusan bodoh yang pimpinan mereka lakukan.

Lebih mengagetkan lagi bahwa korban layoff kali ini bukan kaleng-kaleng. Para karyawan senior yang sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun tidak luput dari target layoff. Perusahaan tempat mereka bekerja sudah menjadi bagian hidup dan identitas yang tidak bisa mereka lepaskan begitu juga. Entah bagaimana perasaan mereka mendengar kabar buruk tersebut setelah lama mengabdikan pikiran, tenaga, dan waktu mereka untuk perusahaan yang mereka cintai sekian lama.

Lalu, hikmah apa yang bisa kita ambil dari rentetan kejadian ini?

Letakkan loyalitas di tempat yang benar

Terdengar sepele, tapi nyatanya masih banyak orang yang meletakkan loyalitas di tempat yang salah. Terlalu sering kita mengorbankan waktu bersama keluarga untuk pekerjaan. Tak sedikit weekend yang kita habiskan di depan laptop untuk mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda.

Keluarga semestinya menjadi tempat tertinggi kita meletakkan loyalitas. Berbeda dengan perusahaan, tidak ada layoff anggota keluarga. Sekali keluarga, selamanya akan menjadi keluarga, kecuali kita sendiri yang memutus ikatan keluarga.

Perusahaan bukanlah Keluarga

Jika seorang bos berkata, “Kita disini adalah keluarga”, maka percayalah, dia adalah bos yang toxic. We are not family, we are co-workers. Perusahaan bukanlah keluarga. Dan rekan kerja kita bukanlah anggota keluarga kita. Mereka tetap rekan kerja. Hubungan antar rekan kerja didasari oleh kontrak kerja, secara profesional, bukan hubungan darah maupun emosional. Ketika kontrak kerja berakhir, berakhir pula hubungan profesional kita dengan mereka.

Selalu punya Rencana B

Menggantungkan hidup hanya dari satu pekerjaan sangat berisiko jika melihat aksi korporasi belakangan ini. Suatu hal yang tidak akan bisa dimengerti oleh generasi sebelum kita. Perusahaan bisa dengan mudah merekrut untuk kemudian memecat karyawan. Maka, memiliki penghasilan lain di luar pekerjaan utama tampak terlihat sebagai upaya yang wajar dilakukan karyawan. Beruntungnya, kita hidup di saat kesempatan terbuka lebar dimana-mana.

Banyak sekali platform yang memungkinkan kita untuk membuka kran penghasilan sekunder agar tetap survive di tengah keputusan ugal-ugalan para pemimpin perusahaan teknologi, yang tampaknya tidak akan berhenti setelah ini. Mulailah untuk disiplin membagi waktu antara pekerjaan utama dengan pekerjaan sampingan, sembari mulai belajar juga untuk bebal dengan tuduhan “tidak loyal, tidak berdedikasi penuh, dan sebagainya” yang sering dilemparkan kepada para karyawan yang mempunyai side hustle. Kita sudah melihat bagaimana tidak-loyal-nya perusahaan terhadap karyawan, jadi, untuk apa kita menaruh semua loyalitas kita kepada mereka?

Jadi, sekali lagi, tempatkan loyalitas di tempat yang benar.

--

--

Glend Maatita

On a mission to fight toxic working culture and stressful workplace